DailyIndonesia.id – Selama masa kampanye Pilkada serentak 2024 ini Bawaslu Provinsi Jawa Tengah bersama jajaran di kabupaten/kota telah menangani 55 kasus dugaan pelanggaran netralitas oleh kepala desa dan perangkat desa.

“Dengan jumlah kasus tersebut, Jawa Tengah berada di peringkat keempat provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi selama masa kampanye ini,” ungkap Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, Selasa (12/11/2024).

Melansir dari Tribunnews.com, sebanyak 37 kasus telah direkomendasikan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sedangkan kasus lainnya masih dalam proses penyelesaian.

Menurut Bagja, masa kampanye adalah momen puncak bagi para kandidat untuk menarik dukungan publik.

Meskipun telah ada pelarangan tegas, pada masa ini kepala desa ataupun perangkat desa acap kali terlibat dalam kegiatan paslon.

Seperti menghadiri kampanye, memberikan dukungan terbuka, memasang alat peraga di balai desa, atau berfoto dengan atribut kampanye.

Hal ini, menurutnya, bisa memberi dampak signifikan pada pelaksanaan Pilkada.

“Keterlibatan kepala desa atau perangkat desa dalam kegiatan politik dapat memberi pengaruh signifikan yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga merugikan pasangan calon lainnya,” tegasnya.

Sementara melansir dari ANTARA JATENG, setidaknya ada empat kerawanan dalam Pilkada di Jawa Tengah.

“Ada empat komponen yang sekarang menjadi titik kerawanan (pelanggaran),” kata anggota Bawaslu Jateng Sosiawan.

Hal ini ia sampaikan saat Serap Aspirasi dengan Wakil Ketua Komite I DPD RI, di Semarang, Selasa (12/11/2024).

Pertama, adanya gejala abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan. Fenomena ini marak terjadi namun tidak mudah ditelusuri dan dicari buktinya.

“Misalnya ketidaknetralan pejabat negara atau daerah. Nah, ini biasanya lemah dalam pembuktian. Karena laporan biasanya tidak disertai bukti sehingga kami kesulitan untuk menindaklanjuti,” katanya.

Kedua, permasalahan netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan kepala desa (kades).

Ketiga, praktik politik uang dengan beragam bentuk. Tak melulu uang namun bisa berupa barang atapun fasilitas.

Menurutnya, masyarakat menjadi mata rantai yang paling lemah masih suka menerima pemberian yang mengarah ke politik uang.

“Kalau masyarakat tidak permisif dan betul-betul anti (antipolitik uang) maka tidak akan terjadi. Karena pertama kali yang (berperan, red.) menolak adalah masyarakat sendiri,” katanya.

Keempat, fenomena di media sosial berupa hoaks, kampanye hitam, hingga pemberitaan negatif yang menyudutkan salah satu pasangan calon.

 

Bagikan: