
DailyIndonesia.id – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait gaji guru dan dosen mendapat sorotan tajam dari publik.
Dalam sambutannya di forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri ITB pada Kamis (7/8/2025), ia menyampaikan bagaimana gaji guru dan dosen menjadi tantangan bagi negara.
Sebagaimana dilihat dari kanal Youtube MerdekaDotCom, Sri Mulyani di awal sambutannya menyinggung para dosen yang demo terkait tunjangan Tukin. Ia mengungkapkan bahwa itu adalah “jenis-jenis dosen” tertentu, bukan yang mengikuti forum.
Lebih lanjut ia menyatakan jika tunjangan yang ada harus dengan mengukur kinerjanya.
“Kita tahu bahwa intelektualitas dan kepandaian maupun kemampuan untuk meraih prestasi bukan masalah azas sama rata, sama rasa. Begitu jadi dosen kemudian punya hak, privillege menadapat tunjangan. Dosen juga harus diukur kinerjanya. Dan inilah yang menjadi salah satu tantangan indonesia,” begitu katanya.
Di tengah sambutan, Sri Mulyani menyinggung klaster gaji guru dan dosen dalam anggaran pendidikan.
“Banyak di media sosial saya slalu mengatakan oh menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar,” kata Sri Mulyani.
Ia melanjutkan dengan menyatakan jika gaji itu adalah tantangan keuangan.
“Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara, apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat,” lanjutnya.
Tak ayal pernyataan itu mendapat kritikan dari berbagai pihak. Salah satunya akademisi dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Sri Lestari.
Tari, sapaan akrabnya, menilai pernyataan itu tidak empatik dan cenderung melempar tanggung jawab.
Ia menyoroti guyonan soal “jenis-jenis dosen” yang menurutnya berpotensi membentuk kasta antara dosen yang dibedakan lewat produktivitas penelitian.
“Dosen di Indonesia tidak hanya menjalankan penelitian, tetapi juga pengajaran dan pengabdian masyarakat, ditambah beban administratif yang besar. Pertanyaannya, apakah indikator kinerja yang selama ini digunakan sudah adil, transparan, dan tidak memberatkan?” ujarnya Jumat (15/8/25), sebagaimana dilansir dari laman resmi UM Surabaya.
Menurutnya, dibanding negara lain, gaji dosen dan guru di Indonesia relatif lebih rendah dengan beban kerja yang tinggi.
Karenanya, ia menilai masalah yang ada bukan siapa yang membayar gaji.
Namun bagaimana menempatkan pendidikan sebagai fondasi utama kualitas sumber daya manusia di masa depan.
“Perlu ada reformasi menyeluruh terhadap indikator kinerja dosen agar lebih berkualitas, berdampak, kompetitif, dan manusiawi. Penilaian tidak hanya berbasis kuantitas publikasi, tetapi pada kualitas, manfaat, dan dampaknya terhadap kesejahteraan dosen dan kemajuan Indonesia,” tegasnya.